Wednesday, December 3, 2008

Isu 'Panas' Reklamasi

Warga nelayan di kampung pesisir pantai utara Jakarta saat ini seakan tak bisa berbuat banyak ketika rumah mereka selama beberapa bulan belakangan ini terrendam air laut. Perkampungan nelayan yang berlokasi di sepanjang pesisir utara Jakarta itu kerap digenangi air tidak hanya saat musim hujan tiba tapi juga saat air laut pasang. Sebagian warga mengeluhkan kondisi itu yang telah berlangsung selama setahun belakangan ini. Hampir seluruh aktivitas rumah tangga, mereka lakukan dengan menggunakan sumber air yang sama yaitu air laut.

Itulah sekelumit fakta yang terjadi di pinggiran kota Jakarta yang mengantar isu kontroversial reklamasi. Ya, reklamasi. Reklamasi merupakan proyek besar pemerintah untuk memanfaatkan wilayah perairan demi memperluas hamparan dataran pulau-pulau yang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan bisnis. Berdasarkan Kepres No. 52 tahun 1997 yang mengalami perubahan menjadi Kepres No. 54 tahun 2008 tentang Tata Ruang kota Jabodetabek, pemerintah atau dalam hal ini Pemprov DKI mengupayakan pembangunan pulau-pulau dengan memperluas daerah pesisir untuk difungsikan bagi proyek-proyek bisnis yang mendatangkan keuntungan menjanjikan. Upaya tersebut terwujud dengan disulapnya kawasan peisisr menjadi areal privat berupa pemukiman mewah dan apartemen megah. Menurut informasi narasumber, telah terbangun areal seluas 11 ha yang diperuntukkan bagi pembangunan apartemen dengan total investasi mencapai 3,5 triliun rupiah. Suatu angka yang tidak kecil untuk sebuah investasi jangka pendek. Pembangunan apartemen tersebut bukan tidak mengindahkan peran Pemprov DKI dalam pemberian ijin dan monitoring pelaksanaan pembangunan. Justru dengan telah terbangunnya bangunan-bangunan megah di atas areal reklamasi tersebut semakin meyakinkan akan peran Pemprov yang turut andil dalam mendukung pembangunan sarat kontroversi itu yang sifatnya privat. Sebagaimana tujuan reklamasi yang diharapkan adalah pembangunan yang hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat atau pembangunan yang bersifat publik bukan pembangunan yang sifatnya privat yang hanya dapat dinikmati oleh elemen masyarakat tertentu saja.

Jika dilihat dari keseimbangan ekosistem lingkungan, proyek reklamasi sangat berpotensi merusak ekosistem lingkungan. Dampaknya bisa langsung terlihat dari bencana alam yang sering bertandang mengancam Kota Jakarta seperti banjir yang menjadi tamu rutin setiap tahunnya. Belum lagi kawasan hutan bakau yang semakin menyusut dikarenakan perluasan dataran untuk pembangunan gedung-gedung dengan memanfaatkan kawasan pesisir pantai. Dengan demikian tak dapat dielakkan lagi, air laut akan semakin melaju memasuki wilayah dataran atau yang disebut dengan intrusi air laut. Dampak nyata yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah isu kekeringan yang melanda sebagian wilayah Kota Jakarta. Seperti kasus di Jakarta Timur misalnya. Sebagian warga di beberapa kecamatan mulai memperdalam sumur mereka karena sumber air yang semakin terkuras.

Selain itu dilihat dari distribusi airnya, proyek reklamasi ini akan berdampak masuknya air laut pada 13 kanal yang ada di sebagian besar wilayah Jakarta. Tentu saja hal tersebut semakin memperparah kondisi dataran Jakarta yang hampir bahkan sudah melampaui angka 0 m di bawah permukaan laut. Aspek sosial masyarakat pun terkena imbasnya, sumber ekonomi para nelayan yang sudah bertahun-tahun menggantungkan hidupnya dari melaut harus menurun diakibatkan habitat ikan yang semakin terancam kelestariannya.

Rupanya pemerintah lupa akan pentingnya menjaga ekosistem lingkungan demi terciptanya kesinambungan alam itu sendiri. Faktor ekonomi dianggap lebih responsif dalam menjawab tantangan masa depan bangsa. Padahal kita tidak tahu apakah profit yang didapat dari investasi besar-besaran itu sebanding dengan kerugian yang akan muncul sebagai dampak buruk bagi kelestarian lingkungan hidup kota Jakarta. Saat ini sedang dilakukan penelitian tenatng besarnya dampak yang diakibatkan dari proyek reklamasi tersebut. Hasil dari penelitian tersebut akan diajukan sebagai bahan penolakan pembangunan reklamasi yang terus bertambah. Tugas para akademisi saat ini adalah bersikap kritis dan turut menyuarakan ketidakadilan yang dialami masyarakat yang notabene berada pada kaum marjinal yang lemah dalam menyalurkan aspirasi mereka. Semoga dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki seorang yang argumentatif berbasis intelektualitas dapat membantu memecahkan setiap permasalahan yang mengancam kemajuan bangsa ini.